Pertama kali aku mengenal apa arti semangat….

Published October 2, 2012 by bulbullucu

Sudah lama Ibuk memiliki trauma yang sama dengan kami. Trauma terhadap penyakit yang bernama kanker. Adik kesayangannya meninggal di usia 45 tahun karena kanker lidah, sama persis dengan apa yang dialami Ibuk. Ditambah beberapa kerabat yang juga meninggal akibat kanker. Pada tahun 2007, Ibuk mulai mengalami sariawan di lidah. Sariawan yang tidak kunjung sembuh selama tiga tahun. Ibuk mulai bertanya sana sini tentang gejala penyakit itu. Kami pun dengan enteng menjawab bahwa itu bukan kanker. Yah, saat itu kami tidak tahu sama sekali tentang kanker dan gejalanya.

Sejak aku bekerja di Jakarta, Ibuk memang beberapa kali datang ke Jakarta hanya untuk sekedar ganti suasana sekaligus menengok anak bungsunya. Tahun 2009, tahun penuh kebahagiaan bagi Ibuk. Waktu itu aku sudah pindah ke Bekasi. Dua kali Ibuk datang ke Bekasi. Kami sempat mengajaknya jalan-jalan ke TMII, dan ke Mekarsari bersama calon mertuaku waktu itu. Tidak lupa kami mengunjungi beberapa mall di Bekasi dan Jakarta. Selain itu, Ibuk sempat mengunjungi rumah yang baru saja aku dan Koko beli untuk persiapan pernikahan kami. Kunjungan kami yang terakhir adalah ke Pantai Ancol. Sangat sederhana tetapi penuh kesan. Saat itu, kami hanya duduk-duduk di tepian pantai, sambil menunggu matahari terbenam. Haha, Ibuk belum mau pulang sebelum melihat matahari terbenam.

Beberapa hari kemudian, Ibuk harus pulang ke Jogja, seperti biasa, kami mengantar Ibuk sampai ke pool bus langganan Ibuk. Entah kenapa, saat itu aku begitu sedih melepaskan kepergian Ibuk. Rasanya seperti Ibuk akan pergi jauh sekali. Ya, sekarang baru aku sadar, kalau saat itu adalah terakhir kalinya Ibuk datang ke Jakarta.

Akhir tahun 2009, Ibuk ingin sekali pergi ke Jakarta. Entah apa yang Ibuk pikirkan waktu itu, karena sepertinya Ibuk mendesak sekali untuk berangkat. Tetapi kami mencegahnya, karena saat itu kakak perempuanku sedang hamil tua, anak pertamanya. Tentu saja dia lebih membutuhkan keberadaan Ibuk daripada aku. Ibuk pun tidak jadi berangkat, tetapi kesedihan ada di wajahnya, beberapa kali Ibuk berkata, “Entah kapan lagi, aku bisa ke Jakarta….”

Hari berganti hari, kami melakukan aktivitas seperti biasa. Sesuatu yang aneh, Ibuk semakin rajin minum jamu kunyit putih dan teh hijau, minuman yang dipercaya sebagai pencegah kanker. Mungkin Ibuk sudah tahu, bahwa sariawan di lidahnya adalah kanker, tapi beliau masih takut untuk periksa ke dokter.

Sekitar bulan Maret 2010, Ibuk mengalami pendarahan pada luka sariawannya. Karena darahnya tidak berhenti, Ibuk memutuskan untuk ke dokter. Pertama, Ibuk ke dokter gigi, diagnosanya adalah lidah Ibuk mengalami iritasi. Luka itu karena terkena ujung gigi yang runcing karena patah. Maka, gigi Ibuk harus dicabut. Setelah itu Ibuk pergi ke dokter bedah mulut untuk pemeriksaan selanjutnya. Dari situlah Ibuk menemukan jawaban yang selama tiga tahun Ibuk pertanyakan. Setelah dilakukan biopsi, Dokter memberi kesimpulan, bahwa sariawan itu adalah kanker. Selanjutnya, Ibuk dirujuk ke dokter onkologi atau dokter bedah kanker. Pemeriksaan demi pemeriksaan Ibuk jalani tanpa beban. Sesuatu yang membuat aku heran, saat aku mendapat kabar bahwa Ibuk menderita kanker, aku hanya bisa menangis, seakan-akan Tuhan sudah menunjukkan bahwa Ibuk akan dipanggil dalam waktu dekat. Tetapi kesedihan dan penyesalan sama sekali tidak ada di wajah Ibuk. Ibuk tetap menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Bahkan beliau bisa menceritakan sakitnya kepada semua orang dengan senyuman.

Kakakku lah yang mendapat penjelasan dari dokter, kanker Ibuk memasuki stadium IIIa dan kemungkinan sembuh adalah 60%. Maksudnya, dari 10 orang dengan sakit yang sama, 6 orang sembuh, dan 4 orang meninggal. Kanker itu termasuk kanker ganas, tetapi belum menyebar ke organ tubuh yang lain. Jadi kata dokter, masih sangat mungkin untuk diupayakan kesembuhan untuk Ibuk. Langkah pengobatan yang direncanakan dokter adalah kemoterapi kemudian radioterapi. Tahapan pengobatan yang cukup panjang, membuat kami berpikir keras mengenai biaya yang harus kami keluarkan nanti. Ibuk memang punya AsKes, tetapi kita tidak tahu berapa lama pengobatan itu harus dilakukan. Bagiku, apa pun metode pengobatan yang dilakukan, berapa pun biaya yang dikeluarkan, kami harus tetap mengusahakan.

Setiap malam, aku mendengar suara Ibuk di ponsel, suara yang penuh doa dan semangat. Itu yang membuat aku semakin bersemangat untuk bekerja giat. Semua untuk pengobatan Ibuk, demi kesembuhan Ibuk dan cita-cita Ibuk untuk memiliki umur panjang. Semangat Ibuk, berarti cinta Ibuk untuk kami semua…..

Leave a comment